Rumah Dosa - Bag.3

Aku lulus jadi sarjana pada usia 23 tahun, sedangkan ibuku berusia 42 tahun, tapi sampai saat itu ibuku masih belum menopause, justru saat kami berpikir ibuku tidak mungkin punya anak lagi, ibuku hamil oleh ulahku tanpa bisa mencari kambing hitam, dan hanya berselisih satu minggu kemudian aku menerima berita Lena juga tengah hamil.

Meskipun aku mencegahnya, tapi pada bulan kedelapan kehamilannya, Lena datang sendiri tanpa didampingi suaminya yang mendapat tugas keluar negeri selama enam bulan. Lena pulang dengan maksud untuk melahirkan di kota kami. Betapa terkejutnya Lena saat dia melihat ibuku juga sedang hamil.

Tanpa sepengetahuan ibuku, Lena sempat bertanya ibu hamil oleh siapa padaku, yang kujawab dengan mengangkat bahu. Lena tidak lagi bertanya, meskipun dari pembicaraan dia kemudian, aku tahu Lena sedang menduga-duga siapa diantara laki-laki yang dulu sering mengunjungi ibuku, yang membuatnya hamil.

Usia kandungan ibuku dengan usia kandungan Lena hanya berselisih dua minggu. Meskipun selama dia tinggal, Lena tidak melihat laki-laki datang ke apartemen kami, tapi itu adalah suatu hal yang wajar karena hamil tuanya ibuku.

Lalu sebuah kecelakaan terjadi, Lena jatuh di tangga darurat yang menyebabkan dia dilarikan ke rumah sakit. Dua minggu Lena dirawat, Lena memang selamat, tapi bayinya meninggal. Lena menangis meraung-raung karena kehilangan bayinya, sulit bagi dia mempertanggungjawabkan kehilangan tersebut kepada suaminya yang sangat mendambakan anak.

Lena sangat khawatir diceraikan suaminya karena anaknya meninggal, karena itu dia sampai saat ini tidak memberi kabar apapun pada suaminya tentang meninggalnya anak yang dikandungnya. Lalu aku berunding dengan ibuku, akhirnya ibuku setuju untuk memberikan bayi yang dikandungnya kepada Lena. Aku bertugas untuk membuat kenal lahir anakku, yang kupalsukan atas nama Lena dan suaminya.

Bayi yang dilahirkan ibuku adalah bayi perempuan, aku beri dia nama Ninda, kependekkan dari namaku dan nama ibuku, meskipun yang kemudian memberi nama seolah-olah ibuku, tapi sebetulnya akulah yang memberi nama dan ibuku hanya menyetujuinya.

Bayi itu langsung diurus Lena sejak dilahirkan, hampir sebulan setengah setelah melahirkan, aku dan ibuku mulai tidak tahan untuk berhubungan seks, apalagi kami sebelumnya terbiasa bebas dirumah, tapi kini terhalang oleh adanya Lena yang nyaris tidak pernah meninggalkan rumah. Bahkan malam hari pun aku dan ibuku sulit menyelinap justru karena Ninda sering menangis di malam hari mencari air susu. Akhirnya kami menemukan akal, ibuku kembali mengurus restaurantnya, sedangkan aku tinggal dirumah. Jika aku pergi pamit pada Lena mau ngobyek, maka sebenarnya aku janjian dengan ibu untuk pergi ke motel.

Suatu hari setelah ibuku pergi ke restaurant, aku duduk di sofa ruang tengah, lalu Lena sambil membawa Ninda datang padaku, dia hanya mengenakan daster tipis, yang kancing baju atasnya terbuka. Lena duduk disampingku sambil mengeluh, “Uh... kenapa air susuku tidak mau muncul juga, bagaimana kalau suamiku bertanya kenapa aku tidak menyusui sendiri bayi ini?” katanya sambil mengeluarkan buah dadanya dan menyodorkan putingnya pada mulut Ninda.

Ninda memang mencoba mengemutnya tapi sebentar kemudian melepaskannya karena tidak ada air susu yang mengalir, “Bagaimana ini?” keluh Lena kebingungan. Aku sendiri terpaku melotot menatap buah dada Lena yang montok, tidak kalah oleh ibuku besarnya, hanya aerolanya saja yang lebih kecil, dan putingnya lebih merah ketimbang punya ibuku..

Lena yang sadar dengan ulahku, kemudian memasukkan buah dadanya, “Doniii… belum sembuh juga penyakitmu mengintip perempuan!” katanya, jelas Lena terkenang ulahku waktu di kamp gereja itu. “Don, boleh aku tanya kenapa kamu belum menikah juga?” tanyanya dengan suara lembut ketika melihat aku tersipu malu.

“A-aku tidak pernah punya keberanian untuk mendekati wanita.” jawabku berbohong, sementara iblis telah memberikan rancangan bagiku untuk bisa meniduri Lena.

“Kenapa, bukankah kamu laki-laki normal?” tanyanya lagi.

Aku pura-pura menunduk sedih. “Entahlah, Len, kalau aku melihat wanita sering nafsuku bangkit, tapi saat aku mendekatinya, aku tidak mampu.” jawabku dengan suara diparau-paraukan.

“Kamu pernah konsultasi pada dokter atau psikiater?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk. “kata dokter, aku normal-normal saja, sedangkan kata psikiater ada sesuatu yang memblok alam bawah sadarku, sehingga aku tidak mampu, seharusnya aku berlatih berhubungan seks dengan seorang wanita, tapi kemana aku harus mencari wanita seperti itu?” cetusku pada Lena.

Lena terdiam beberapa lama, aku juga mendiamkannya sambil tetap mengekspresikan muka orang yang sedang putus asa. Setelah keheningan yang mencekam akhirnya Lena angkat bicara, “Ka-kamu… mau berlatih denganku?” tanyanya dengan suara ragu.

Kuangkat mukaku, kupasang ekspresi tidak percaya dan harapan, “Su-sungguh kamu mau berlatih denganku?” tanyaku.

Dengan wajah memerah, Lena mengangguk, “Kamu telah membantuku membujuk ibu untuk memberikan anaknya padaku, kini giliranku membantu kamu.” katanya dengan suara lirih.

Meskipun hatiku terlonjak kegirangan, tapi aku hanya menatapnya dengan pandangan penuh harapan. “Tapi bagaimana caranya?” tanyaku sambil menatapnya.

Lena tersenyum dengan muka merah sambil berkata, “Ikut aku ke kamar,” pintanya sambil melangkah ke kamarnya.

Sesampainya di kamar, ditidurkannya Ninda di boks tempat tidur bayi, “Buka seluruh bajumu.” pintanya padaku sambil membuka bajunya, lalu branya, hingga kini tubuh montoknya hanya tinggal dibalut celana dalam, buah dada Lena ternyata lebih besar dari punya Marta, meskipun lebih kecil dari Linda, ibuku. Hanya aerolanya saja yang sama besarnya dengan milik ibuku.

Kuikuti perbuatannya dengan melepas semua bajuku kecuali celana dalamku. “Buka semuanya!” pintanya padaku. Kali ini kulepas celana dalamku sehingga batang penisku tegak mengacung dengan gagah beraninya. “Woow… Don, batang penismu luar biasa besarnya… apa gak salah dengan omonganmu, kok aku lihat dia bisa berdiri dengan sempurna?” katanya sambil memperhatikan batang penisku.

Aku segera sadar dengan peran yang tengah kujalani, “Iya, dari dulu juga selalu tegak, tapi pas mau dimasukin layu lagi.” kataku dengan nada sengaja kubuat antara kesal dan sedih.

“Ehmm… kini aku mengerti, mungkin ada yang salah dengan caramu, kemarilah berbaring di sampingku.” katanya sambil mendahului berbaring.

“Kamu curang menyuruh aku membuka semua, tapi kamu sendiri masih memakai celana dalam.” kataku sambil berbaring di sampingnya.

Lena sejenak kulihat ragu, “Baiklah, aku akan melepas celana dalamku, tapi kamu harus berjanji untuk tidak memasukkan batang besarmu ke dalam vaginaku, kita hanya akan saling menggesekkannya saja.” katanya kemudian sambil melepas celana dalamnya setelah melihat aku mengangguk.

“Boleh aku melihatnya?” tanyaku sambil bangkit duduk.

Lena kembali ragu tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya, “Ok, kamu bisa melihatnya, dan kamu memang harus mempelajarinya.” katanya sambil duduk dengan kaki terkangkang. Lalu Lena mulai menyebutkan seluruh bagian dari vaginanya, sambil menunjuknya “Dan ini lubang vagina tempat dimana batang penis masuk kalau dua orang sedang bersetubuh, tapi kita tidak akan melakukan itu, kita hanya akan menggesekkannya saja agar kamu bisa berlatih.” katanya mengakhiri ceramahnya sambil kembali membaringkan tubuhnya lagi.

“Kini peluk dan cumbu aku!” pintanya padaku. Aku yang telah sangat terangsang karena melihat bagian dalam vaginanya yang memerah, segera menelungkupinya, kupeluk tubuhnya sementara bibirku langsung menyerbu bibirnya, kukulum sejenak lalu kujulurkan lidahku ke dalam mulutnya.

“Hufhh...” desahnya ketika menerima serbuanku. “Kamu rupanya sudah sangat berpengalaman dalam berciuman.” katanya dengan nafas sedikit terengah akibat serbuanku.

“Berciuman sih sudah kulakukan sejak kamu belum menikah, sayang aku tidak bisa menuntaskannya.” kataku sambil mencumbu leher dan telinganya.

Lena menggeliat sambil mendesah. “Aakhh… perlahan sedikit.” pintanya. Tapi aku yang sudah kadung bernafsu tidak menghiraukannya, mulut dan lidahku berpindah-pindah tempat operasi, mulai dari bibir, leher, buah dada, dan putingnya selalu menjadi incaranku, kukulum, kuemut dan kujilat secara berganti-ganti, sementara sebelah tanganku meremasi buah dadanya sedangkan batang penisku kugesek-gesekkan pada belahan vaginanya.

Lena mulai menggelinjangkan tubuhnya, erang yang tadinya ditahan-tahan, kini terlepas tanpa bisa disembunyikan lagi. “Aakhh… okhhh…” erangnya berulang-ulang. Sementara pantatnya mulai bergoyang-goyang mengimbangi desakan batang penisku. Sengaja kupergencar lagi seranganku dengan tujuan saat aku memasukkan batang penisku, dia tidak mampu lagi menolaknya.

“Aaakhh… aaakkkhhh...” erangnya saat kepala penisku menyundul-nyundul klitorisnya, sementara kakinya mulai menyepak-nyepak tempat tidur. Dari batang penisku, kutahu vagina Lena sudah sangat basah. “Ber-berhenti, Don…” katanya terpatah-patah dengan suara lemah disela desahnya, memintaku untuk menghentikan aksiku. Aku sadar itu adalah sisa kesadarannya akan tujuan kami melakukan ini, tapi ini justru merupakan aba-aba bagiku untuk segera memasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya.

Dengan ancang-ancang penuh, aku mengincar lubang vaginanya, dan ”Ughhh!!!” lenguhku saat kepala batang penisku menembus lubang vaginanya, blesss!!! batang penisku amblas sebatas kepalanya.

“Doniii… jangannnn…” pekik Lena dengan mata terbelak lebar, sementara pantatnya berguncang dengan hebatnya untuk mengeluarkan batang penisku, sedangkan tangannya mencoba menolak tubuhku, tapi tenaganya sangat lemah.

Aku yang sudah menduga hal itu segera mempererat pelukanku dan himpitan pantatku ke selangkangannya, bahkan pada saat-saat demikian kucoba untuk memasukkan batang penisku lebih dalam. Meskipun agak susah karena rontaannya, tapi akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menghentakkan batang penisku sekuatnya ke dalam lubang vaginanya.

“Ughh…” lenguhku saat menusukkan batang penisku sekuatnya, kurasakan betapa ketatnya himpitan dinding lubang vagina Lena, dan blesss!!! seluruh batang penisku amblas.

“Aawww…” pekik Lena saat batang penisku amblas seluruhnya. Sejenak kami terdiam lalu pecahlah isak Lena. “K-kamu… kamu jahat, Don... kamu memasukkannya!” katanya disela isaknya.

“Maafkan aku, Len, aku sungguh tidak bisa menahan keinginanku untuk merasakan bagaimana rasanya memasukkan penisku ke dalam lubang vagina perempuan.” kataku sambil membelai rambutnya.

“K-kini… kini kamu sudah sembuh, cepat cabut penismu!” pinta Lena sambil memandangku.

Aku menggelengkan kepala, “Tidak, aku sudah kadung memasukkannya, aku kini ingin merasakan bagaimana rasanya bersetubuh.” kataku sambil mulai memaju mundurkan pantatku. Kulihat Lena mencoba untuk memberontak, tapi rontaannya lemah dan tidak bertenaga. Setelah nyata tidak berhasil, Lena mencoba melawanku dengan cara halus, tubuhnya kaku seperti batang pisang, tidak merespon pompaanku, sementara bibirnya digigitnya dengan keras.

Aku semakin tertantang untuk menaklukkan Lena, kukeluarkan semua kemampuan dan pengalamanku untuk membuatnya menyerah, akhirnya setelah lima menit berusaha, kulihat sebuah kepasrahan muncul dari sorot matanya, mata itu pelan menyayu dan akhirnya terpejam, sementara bibirnya terbuka mengeluarkan desah nikmat yang sejak tadi ditahannya. “Ooooookkkkkhhhhh…” lalu pantatnya mulai bergoyang melayani pompaanku, mulanya pelan tapi makin lama makin cepat.

Kurang dari dua menit sejak dia merespon, tubuh Lena tiba-tiba mengejang. ”Aakhhh… Donniiii… okhh…” erangnya sambil merangkul tubuhku erat-erat, aku tahu Lena sudah mencapai orgasme. Kubiarkan sejenak, setelah terasa tubuhnya melemas, segera kupompa lagi.

Luar biasa, kurang dari semenit kemudian, pantatnya mulai bergoyang lagi, “Ssssstttt… shhh…” desisnya bagai orang yang kepedasan.

“Nikmat, sayang?” kataku sambil mencium bibirnya sekilas, matanya yang sejak tadi terpejam kini terbuka, mata kami bertemu pandang dan perlahan matanya mengejap sekali sambil bibirnya menyunggingkan senyum, dan mata itu kembali tertutup dengan muka semakin memerah. Aku tahu Lena telah mengiyakan pertanyaanku. Dan aku melanjutkan pompaanku.

Lena kembali mencapai orgasmenya tidak lama kemudian, kali ini dia menjerit kecil sambil menggigit bahuku saat tubuhnya mengejang. Aku yang ingin membuktikan penguasaanku terhadap Lena berbisik padanya setelah tubuhnya kembali melemas. “Kini kamu yang diatas menunggangi aku ya?” kataku sambil membalikan tubuh kami. Sejenak kemaluan kami terpisah.

Lena berpindah posisi dan mengangkangiku setelah sebelumnya dia meraih tissue dan membersihkan vaginanya yang becek. Tak lama kemudia dia menunggangiku, dengan posisi ini, Lena lah yang banyak bergerak dan memegang kendali persetubuhan. Hanya terkadang aku menaikkan pantatku menyongsong pantatnya yang turun sehingga batang kemaluanku amblas makin dalam di lubang vaginanya, sedangkan kedua tanganku aktif meremas-remas payudaranya.

Lena benar-benar bagaikan orang yang kesetanan memacu tubuhku, keringatnya menganak sungai dan menetes di tubuhku, kadang badannya ditengkurapkan menindih badanku, kadang dia duduk tegak. Dan yang paling menyenangkan adalah saat dia menurunkan pantatnya sambil melakukan gerakan memutar, serasa batang penisku dipilin-pilin oleh dinding lubang vaginanya, kurasakan rasa geli mulai timbul dibatang penisku.

“Len, aku sebentar lagi mau muncrat nih.” kataku pada Lena.

“A-aku juga mau sebentar lagi, barengan aja.” katanya disela dengus nafasnya.

Kucoba bertahan, tapi saat Lena semakin tidak terkendali, akhirnya aku muncrat juga. “Ughhh… Lena…” kataku sambil menahan pantatnya agar rapat dengan selangkanganku dan, crett… crett… air maniku menyembur deras.

Pada saat yang bersamaan, kulihat Lena menengadahkan wajahnya memandang langit-langit kamar, tubuhnya mengejang. “Oouhggg… akkhhh…” erangnya dengan keras. Rupanya kami mencapai puncak kenikmatan bersetubuh secara bersamaan.

Sejenak kami terdiam dalam posisi itu, lalu tubuh Lena yang melemas ambruk menimpa tubuhku, kupeluk tubuhnya erat-erat sambil meresapi sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih.

Hampir seperempat jam kami berdiam diri dengan posisi seperti itu, batang penisku yang sudah mengerut akhirnya lepas dari lubang vaginanya. “Kamu bohong kan dengan penyakitmu?” tuding Lena dengan suara lirih sambil masih tetap menindihku.

Aku tidak menjawab, sementara Lena melanjutkan kata-katanya. “Tapi aku tidak marah kepadamu, kamu baru saja memberi pengalaman terindah dan ternikmat selama hidupku. Abang yang menjadi suamiku belum pernah mampu melakukannya seperti ini, paling skornya hanya 1-1, bahkan kadang aku tidak mendapat orgasme saat besetubuh dengannya. Tapi kini skornya 3-1, suatu hal yang tidak pernah kuimpikan, tapi kini jadi kenyataan.” katanya masih dengan suara lirih sambil menggulingkan badannya hingga kini kami berbaring berdampingan.

Kubalikan badanku hingga kini aku menghadap padanya yang masih tetap berbaring, pelan kucium bibirnya, dan kami berpagutan erat. “Syukurlah kalau kamu tidak marah, habis kamu sih merangsangku, jadi terpaksa aku melakukannya.” kataku sambil mengelus-elus pinggangnya. “Len, kamu masih mampu?” tanyaku kemudian.

Lena memandangku dengan pandangan bertanya, kupegang tangannya dan kubimbing ke penisku. “Aww… kamu sudah berdiri lagi?” tanyanya dengan takjub. “Se-sebentar, beri aku waktu untuk memulihkan kondisiku barang seperempat jam, lalu kita lakukan lagi.” katanya dengan muka memerah saat tanganku mulai mengelus-elus belahan vaginanya.

Dan kami kembali bersetubuh lagi, puncak demi puncak kenikmatan kupersembahkan pada Lena, hari itu aku tiga kali memuncratkan airmaniku, sementara Lena tidak kurang dari sembilan kali meraih orgasmenya.

Sejak saat itu sampai Lena kembali kepada suaminya, aku selalu melayani dua orang perempuan dalam sehari. Kenikmatan birahi yang kami reguk seakan akan tidak ada puasnya. Menjelang kepulangannya, Lena sempat bertanya padaklu dengan pandangan menyelidik. “Doni, sebenarnya Ninda anak mama dengan siapa? Aku telah lama memikirkannya, laki-laki seperti kamu berkumpul berdua dengan mama, rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu. Ninda bukankah itu kependekan namamu dan nama mama? Benar bukan Ninda adalah anak mama dari kamu?” tanyanya.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku hanya tersenyum sambil mencium sekilas bibirnya. Dan aku hanya bisa nyengir saat pamit Lena merangkul aku dan ibuku, sehingga kami bertiga saling berangkulan erat, dan Lena berkata padaku dengan didengar ibuku, “Jaga istrimu baik-baik yah… adikku yang nakal!” katanya sambil mencium pipiku, lalu pada ibuku dia berkata “Tolong jaga satu-satunya adik laki-lakiku ya, iparku yang cantik!” katanya sambil mencium pipi ibuku.

Lalu sambil berbalik dia berkata, “Terima kasih kalian telah memberikan anak kalian padaku, sehingga suamiku menjadi sangat bahagia. Aku janji akan merawatnya seperti aku merawat anak kandungku sendiri.” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya pada kami, aku dan ibuku. Dan tanpa memberi kesempatan lagi, Lena segera melangkah keluar.

“Da-darimana Lena tahu hubungan kita?” tanya ibuku dengan muka bingung meskipun matanya masih menatap pintu yang barusan digunakan Lena.

“Sudahlah, Lin, tak usah kita pikirkan. Yang penting Lena tidak marah, bahkan dari kata-katanya, tampaknya dia justru merestui hubungan kita, dan yang lebih penting lagi, kini kita tinggal berdua sehingga kita bebas seperti semula melakukan apa saja.” kataku sambil membopong tubuh ibuku dan membawanya ke kamar tidurnya yang sebenarnya merupakan kamar tidur kami.

“Ughh… dasar kamu yang tidak ada puasnya.” kata ibuku sambil menggigit pelan telingaku, “Cepat kamu setubuhi aku dan puaskan aku berkali-kali, anak kurang ajar yang doyan menyetubuhi ibunya sendiri.” bisiknya lagi di telingaku.

***

Waktu berjalan dengan cepat, Sepuluh tahun sejak ibuku melahirkan anakku, kudengar Lena bercerai dengan suaminya, dan setahun kemudian dia menikah lagi dengan seorang pria yang sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Aku sendiri tidak pernah menikah secara resmi, buat apa, toh ada ibuku yang sekaligus juga menjadi istriku.

Tapi empat tahun kemudian, atau lima belas tahun sejak melahirkan Ninda, ibuku meninggal dalam kecelakaan jalan raya, saat dia baru keluar dari sebuah mall. Sejak saat itu aku hidup sendiri dan menyepi.

Tapi itu tidak lama, lima bulan setelah ibuku meninggal, aku mendapat telephone dari Lena, dia bertanya maukah aku merawat Ninda, karena suaminya yang sekarang tampaknya menaksir Ninda, sementara sikap Ninda sendiri terlalu gampangan. Karenanya Lena khawatir kalau suaminya menjalin hubungan gelap dengan Ninda.

“Dia membutuhkan figur yang kuat dan bisa mendidiknya, suatu hal yang tidak sanggup kuberikan” katanya padaku.

Aku segera menyetujuinya untuk menerima Ninda di rumahku, karena sebenarnyalah dia adalah putriku satu-satunya. Tanpa sadar bahwa aku telah membuka babak baru dalam kehidupan incest seksualku.
LihatTutupKomentar
Cancel